Poverty porn dan Eksploitasi di Algoritma sosial media Indonesia

 

Media sosial tentu bukanlah hal yang baru lagi bagi masyarakat terlebih pada era yang serba digital ini. Berbagai hal dapat dibagikan melalui media sosial, mulai dari politik, keberagaman budaya, pendidikan, ekonomi bahkan kehidupan privat setiap penggunanya. Menurut laporan We Are Social dan Hootsuite, jumlah pengguna internet di seluruh dunia telah mencapai 5,07 miliar orang pada Oktober 2022. Jumlah tersebut mencapai 63,45% dari populasi global yang totalnya 7,99 miliar orang. Jumlah pengguna internet global pada Oktober 2022 meningkat 3,89% dibanding periode sama tahun lalu (year-on-year/yoy), yang masih 4,88 miliar orang pada Oktober 2021. Dilansir pada sumber yang sama, sosial media yang paling banyak digunakan di indonseia yaitu Instagram dan tiktok. Pengguna Instagram di Indonesia sebanyak 84,8% dari jumlah populasi, tahun sebelumnya 86,6% (turun) kemudian Pengguna Tiktok di Indonesia sebanyak 63,1% dari jumlah populasi, tahun sebelumnya 38,7% (naik pesat). Hal ini terjadi dikarenakan maraknya influencer yang beralih dari Instagram ke tiktok.

Salah satu fitur yang ada di dalam tiktok adalah fitur live streaming, namun akhir-akhir ini muncul trend yang sangat meresahkan yaitu trend mandi lumpur. Seberapa meresahkankah trend tersebut?

Format trend ini sudah familiar di live streaming youtube maupun aplikasi lain. Semuanya dilakukan berbasis donasi. Hal inilah yang membuat semuanya terlihat tidak masalah dan tidak patut diperdebatkan. Kenapa? Karena berkedok donasi maka akan muncul asumsi bahwa tindakan tersebut dilakukan semata-mata untuk membantu live streamer dan selagi donatur ikhlas itu semua tidak masalah. Lalu apa yang membedakan antara live streaming mandi lumpur dengan live streaming lainnya?

Sebelumnya format ini sangatlah mirip dengan aplikasi sebelah Bigo live. Untuk mendapat gift yang nantinya bisa ditukar menjadi uang, live streamer harus melakukan request viewer yang biasanya berbau sensual. Namun yang membuat trend mandi lumpur ini berubah menjadi the another level of dumb adalah eksploitasi yang terjadi di dalamnya. Tak jarang live streamer mengajak orang yang sudah tua untuk tampil di depan kamera bahkan selama 24 jam. Dengan kedok “Hanya untuk hiburan” mereka memasang tarif layaknya pertunjukan sirkus. Biasanya orang memberi gift dikarenakan viewer merasa terhibur atau sebagai apresiasi. Namun dalam hal ini apakah pantas dilabeli sebagai hiburan?

Dalam hal ini pemilik akun diyakini sedang mempertontonkan kesengsaraan dimana dalam tayangan semacam itu menurut penelitian Melissa Anne dari University of Texas merupakan bentuk poverty porn. Dalam perspektif ini, fokus tayangan adalah menceritakan penderitaan kemiskinan yang dialami subjek tanpa menjelaskan faktor struktural yang dihadapinya dengan membingkai kerja keras sebagai jalan keluar kemiskinan. Bentuk pengemasan ini menonjolkan sensasionalitas dengan memantik simpati publik, tapi yang hendak dicapai hanya perhatian publik untuk klik bukan memantik diskusi publik untuk mengatasi kemiskinan. Konteks kerja keras yang ditampilkan dalam hal ini adalah orang tua yang rela masuk angin demi bisa makan.

 Trend mandi lumpur ini kembali mengingatkan aku tentang sebuah pertunjukan seorang seniman bernama Marina Abramovic. Salah satu pertunjukan yang paling terkenal yang ia lakukan bagian dari eksperimen tersebut berjudul 'Rhythm 0' tahun 1974.

Rhythm 0 adalah pertunjukan seni yang bertujuan menunjukkan bagaimana sisi gelap manusia jika mereka diberi kuasa untuk melepaskannya. Apakah kalian pernah melanggar suatu peraturan baik itu di sekolah, tempat kerja atau lingkungan tempat tinggal kalian? Ada istilah yang mengatakan "peraturan dibuat untuk dilanggar", kita tahu itu mungkin hanya guyonan namun nyatanya itu sudah menjadi kebiasaan buruk masyarakat kita, mungkin bukan hanya masyarakat kita. Marina ingin menunjukkan sisi gelap manusia dalam Rhythm 0. Bagaimana jika manusia diberi kuasa untuk melakukan apa saja tanpa sanksi?

Marina akan berdiri diam selama 6 jam dan memperbolehkan para penonton melakukan apa saja pada Marina dengan 72 benda yang sudah ia siapkan. Benda-benda tersebut terdiri dari bunga mawar, madu, roti, anggur, gunting, paku, pisau bedah sampai pistol yang memiliki satu peluru di dalamnya. Marina akan bertanggung jawab atas semua yang terjadi selama periode 6 jam itu, jadi apapun yang dilakukan penonton tidak akan dikenakan sanksi.



Pada awalnya penonton dengan hati-hati menyuapi kue, memberi bunga, kemudian perlahan menulis sesuatu di kulit Marina. Namun ketika penonton sadar bahwa Marina tidak melakukan perlawanan apapun, disaat itulah keadaan mulai tidak terkendali. Penonton mulai mengambil gunting, melucuti bajunya, melukai lehernya dengan pisau cukur, ada pula yang sampai meminum darahnya, melecehkannya tapi tidak sampai memperkosanya karena penonton datang dengan membawa pasangannya hingga akhirnya penonton mulai menyodorkan pistol. Ditengah pertunjukan ini ada perempuan yang sempat menghentikan tindakan konyol penonton lainnya dengan memeluk Marina,  beberapa penonton juga mulai mengobati luka-luka di tubuh Marina. Para penonton terpecah menjadi 2 kubu, dimana ada yang menghalangi penonton lainnya untuk melakukan tindakan yang lebih parah dan ada juga yang menikmati momen ini selagi bisa.

Akhirnya 6 jam berlalu Marina kembali bergerak, namun ia tidak mengatakan sepatah kata pun sedangkan penonton yang melakukan tindakan tidak pantas terhadapnya langsung lari berhamburan karena takut di tuntut oleh Marina.

Sudahkah kamu temukan persamaan trend tiktok dengan pertunjukan yang dilakukan Marina?

Kita harus menghentikan trend ini dengan cara tidak memberi gift kepada live streamer yang melakukan tindakan itu, selain karena minimnya empati di tayangan tersebut, tetapi juga karena trend tersebut menyebabkan efek domino bagi orang yang sedang butuh cuan.

_bye

0 Comments